Kamis, 07 November 2019

Situasi serta Kondisi Politik Masa Kedatangan Islam

Mantan KA UPTD
Situasi serta Kondisi Politik Masa Kedatangan Islam. Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia ternyata tidaklah bersamaan, kerajaan-kerajaan serta daerah-daerah yang didatangi mempunyai situasi politik serta sosial-budaya yang berlainan pula. Pada saat kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya pada sekitar abad ke-7 dan 8, Selat Malaka sudah mulai dilalui oleh para pedagang muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri di Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina di saat Zaman T’ang, pada abad-abad tersebut diduga masyarakat Muslim telah ada, baik di Kanfu (Kanton) maupun di daerah Sumatera. Perkembangan pelayaran, perdagangan, yang bersifat Internasional antara negeri-negeri di Asia bagian barat dan timur yang mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Banu Umayyah di bagian barat maupun kerajaan Cina zaman dinasti T’ang di Asia Timur, serta kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.

Usaha-usaha kerajaan Sriwijaya dalam meluaskan kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai daerah Kedah dapat dihubungkan dengan bukti-bukti prasasti Ligor 775, berita-berita Cina dan Arab abad ke-8 sampai ke-10. Hal itu erat hubungannya dengan usaha Selat Malaka yang merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan Internasional. Kedatangan orang-orang Islam di Asia Tenggara dan Asia Timur pada taraf permulaannya mungkin belum terasa akibat-akibatnya bagi kerajaan-kerajaan di negeri-negeri tersebut. Karena usaha-usaha mereka, hanya dalam taraf menjelajahi masalah-masalah di bidang pelayaran dan perdagangan. Tetapi pada abad ke-9 dengan terjadinya pemberontakan petani-petani Cina Selatan terhadap kekuasaan T’ang masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889) di mana orang-orang Muslim turut serta. Akibat dari hal tersebut banyak orang-orang Muslim dibunuh, dan mereka mencari perlindungan ke Kedah, maka bagi orang-orang Muslim berarti telah melakukan kegiatan-kegiatan politik. Kegiatan mereka jelas mempunyai akibat bagi kekuasaan T’ang dan Sriwijaya. Sriwijaya yang kekuasaannya ketika itu meliputi daerah Kedah, melindungi orang-orang Muslim tersebut. Syed  Naguib al- Attas mengatakan bahwa orang-orang Muslim yang diperkirakan sejak abad ke-7, telah memiliki perkampungan di Kanton menunjukan kegembiraannya menyaksikan derajat keagamaan yang tinggi dan otonomi pemerintahan; di mana mereka akan memelihara kelangsungan perkampungan serta organisasi masyarakatnya di Kedah dan di Palembang.

Kerajaan Sriwijaya dari abad ke-7 sampai dengan abad ke-12 di bidang ekonomi dan politik masih menunjukkan kemajuannya, tetapi sejak akhir abad ke-12 mulai menunjukan kemundurannya yang prosesnya terbukti pada abad ke-13. Tanda- tanda kemunduran Sriwijaya di bidang perdagangan, tahun 1178 dari berita Chou Ku-Fei dalam Ling-wai-tai-ta menceritakan bahwa persediaan barang-barang perdagangan di Sriwijaya mahal-mahal, karena di negeri tersebut tidak lagi menghasilkan banyak hasil alam. Untuk mencegah kemunduran kerajaan Sriwijaya diperdagangan yang mungkin juga berdampak di bidang politik, maka kerajaan tersebut mengupayakan pencegahan yakni di antaranya membuat peraturan cukai yang lebih berat lagi bagi kapal-kapal dagang yang singgah di pelabuhan-pelabuhannya. Hal tersebut ternyata bukannya mendatangkan hasil pendapatan yang lebih menguntungkan, justru lebih merugikan, karena kapal-kapal dagang seringkali menyingkiri pelabuhan-pelabuhan, menembus blokirnya dan menuju tempat-tempat yang mereka ketahui banyak menghasilkan barang-barang dagangan.

Kemunduran di bidang perdagangan dan politik kerajaan Sriwijaya itu di percepat oleh usaha-usaha kerajaan Singasari di Jawa yang mulai mengadakan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275. Pengiriman  arca Amoghapaca sebagai perlambangan ayah raja Kertanegara sekitar tahun 1286, merupakan pengukuhan kekuasaaannya terhadap kerajaan Melayu di Sumatera. Pengaruh politik Kertanegara terhadap Kerajaan Melayu merupakan usaha untuk memperkecil politik dan perdagangan Sriwijaya yang semula menguasai kunci pelayaran dan perdagangan Internasional, melalui Selat Malaka. Selain itu juga merupakan kesempatan untuk menyatakan diri lepas dari kekuasaan kerajaan tersebut.

Sejalan dengan kelemahan yang di alami kerajaan Sriwijaya pedagang-pedagang Muslim yang mungkin pula terdiri dari muballigh-muballighnya lebih berkesempatan untuk selama mendapatkan keuntungan dagang dan keuntungan politik. Mereka menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul; dan menyatakan dirinya sebagai negara yang bercorak Islam ialah kerajaan Samudra-Pasai, terletak di pesisir timur laut Aceh, Kabupaten Lhok Seumawe atau Acceh Utara kini. Munculnya kerajaan tersebut sebagai kerajaan yang bercorak Islam, diperkirakan mulai abad ke-13, sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia. Hal itu kemungkinan besar, hasil proses Islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang Muslim sejak abad ke-7, 8 dan seterusnya. Daerah lain yang masyarakatnya sudah banyak memeluk agama Islam ialah Perlak, yang dibuktikan dengan adanya berita Marco Polo yang singgah di daerah itu tahun 1292.

Kerajaan Samudra Pasai berkembang dengan baik di bidang politik maupun perdagangan serta pelayaran. Hubungan dengan Malaka juga semakin berkembang serta ramai sehingga di tempat itu pun sejak abad ke-14 timbul masyarakat Muslim. Masyarakat muslim di Malaka semakin berkembang, meluas, dan akhirnya pada awal abad ke-15 muncul pusat kerajaan Islam baru. Perkembangan ini, jelas berhubungan dengan keruntuhan kerajaan Sriwijaya, yang dipercepat oleh pengaruh kekuasaan kerajaan Majapahit sejak pertengahan abad ke-14.

Demikianlah, ulasan yang bisa kami sampaikan, untuk lebih jelas dan lengkap anda bisa membaca buku: Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, 1993. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka. Semoga referensi di atas dapat bermanfaat untuk kita semua.