Meneruskan Politik Ekspansi Senapati: Kerajaan Mataram-Sepeninggalan 1601 Senapati telah berhasil meletakan dasar-dasar kekuasaan Mataram atas Jawa Tengah dan sebagian besar Jawa Timur. Tetapi kekuasaan Mataram di Jawa Timur belum mantap benar. Polarisasi kekuasaan antara pesisir dengan pedalaman yang terjadi sejak runtuhnya Majapahit berkembang menjadi konflik politik yang berkepanjangan, terlebih lagi setelah kekuasaan politik Jawa berpusat di pedalaman, di Pajang dan Mataram.
Stabilitas kekuasaan pemerintah pusat atas daerah-daerah pesisir tersebut sangat bergantung kepada kekuatan pemerintahan pusat. Hal tersebut berakibat terjadinya pasang-surut kekuasaan pemerintahan pusat yang berimbas; setiap kali daerah-daerah pesisir ditaklukan, daerah dipesisir itu berusaha untuk melepaskan diri dan bertindak merdeka, sehingga pemerintahan pusat harus memerangi kembali agar bisa meletakan hegemoni kekuasaannya.
Perang yang terus berkobar sejak Sultan Trenggana sampai Sultan Agung tidak saja menghancurkan perdagangan di daerah-daerah pesisir, tetapi juga menguras habis tenaga-tenaga agraris di daerah pedalaman. Dari segi-ekonomi politik ekspansi Mataram sebenarnya mengandung aspek-aspek “ penghancuran diri”, tetapi apabila di pandang dari segi sosial-kultural memiliki dampak jangka panjang yang mendukung proses intergrasi, yakni semakin tersebarnya dan diterimanya pola-pola kebudayaan Keraton Mataram.
Politik ekspansi Senapati dilanjutkan oleh pengganti-penggantinya, yakni Mas Jolang dan lebih-lebih oleh Sultan Agung.
Mas Jolang atau Panembahan Krapyak (seda-ing-krapyak) (1601-1613) lebih banyak menggunakan waktu untuk mempertahankan daerah-daerah taklukannya yang diwariskan oleh ayahnya, dikarenakan saat-saat pergantian tahta senantiasa digunakan oleh daerah-daerah vassal untuk memberontak dan berusaha melepaskan diri.
Awalnya pemberontakan-pemberontakan terhadap Mas Jolang, berasal dari kalangan keluarga dinasti sendiri, yakni dari pangeran Puger di Demak dan dari Pangeran Jayaraga di Panaraga. Persoalan internal dikalngan keluarga raja itu senantiasa tampil kepermukaan sepanjang sejarah kerajaan Mataram, sehingga berdampak pada stabilitas politik hingga menjadi krisis besar yang berakhibat terjadinya perpecahan dan pembagian kerajaan. Persoalan tersebut sudah menjadi interik Intern yang mengundang datangnya intervensi kekuasaan asing (Voc- Belanda) yang merongrong terhadap kedaulatan dan kekuasaan Mataram.
Pemberontakan pangeran Puger terjadi 1602-1605, yang dikarenakan pangeran Puger merasa lebih berhak atas tahta kerajaan daripada adiknya itu. Pangeran Puger mendapat dukungan dari Dipati Gending dan Panjer dari Jawa Timur. Namun pemberontakan yang dilakukannya tersebut pada akhirnya gagal, kedua adipati tersebut gugur dan pangeran Puger dapat ditangkap yang kemudian diasingkan ke Kudus dalam keadaan yang menyedihkan.
Pemberontakan pangeran Jayaraga dari Panaraga terjadi 1608. Namun pemberontakan tersebut tidak begitu membahayakan, tetapi dapat mengancam kesatuan kerajaan. Kegagalan yang dialami yakni; sebelum terjadi bentrokan dia berhasil ditawan dan dibuang ke Nusakambangan.
Mas Jolang 1610 melakukan penyerangan terhadap Surabaya, tetapi hanya sebatas penghancuran daerah sekelilingnya Kota Surabaya saja. Karena sebenarnya serangan langsung ke kota Surabaya hampir tidak bisa dilakukan, masalahnya ada tembok tebal serta adanya rawa-rawa yang menjadi penghalang utama. Ekspedisi militer ke Surabaya dilakukan beberapa kali yakni; penyerangan ke Gresik dan Jaratan, yang keduanya terletak pada hilir Bengawan Sala. Dalam Kronik-kronik Jawa penyerangan tersebut tidak menyebutkan sama sekali adanya perampasan maupun perampokan. Justru kronik-kronik tersebut memuji-muji Mas Jolang sebagai raja yang gagah berani. Seperti halnya setiap peperangan lainnya, penyerangan ke Gresik dan Jaratan dilakukan pada musim kemarau, di bulan September 1613.
Prof. A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Ombak, Yogyakarta, 2012